Memperpanjang SIM, Memperpendek urusan


Beberapa hari lalu saya mendatangi Satpas (Satuan Penerbitan SIM) Sleman ntuk memperpanjang SIM C saya yang sudah mulai pendek, maksud saya: sudah habis masa berlakunya. Sebelumnya saya sempat dibuat bingung tentang bagaimana cara mengurus perpanjangan (yang sudah telat itu) sembari melakukan pindah alamat karena KTP saya sudah berganti alamat. Setelah googling sejenak dua jenak, saya menemukan sebuah blog yang sangat bermanfaat dalam konteks ini: http://pelayanmasyarakat.blogspot.com. Blog ini ditulis oleh seorang polisi baik hati yang memberi informasi cukup memadai tentang pelayanan kepolisian. Melalui blog tersebut saya kemudian tahu tentang bagaimaa cara mengatasi hal di atas. Termasuk informasi biaya yang ternyata cuma 60 ribu rupiah itu. Saya harus menyatakan terimakasih pada bapak polisi pembuat blog tersebut.

Satpas di sleman, secara sekilas, bisa saya katakan cukup bagus pelayanannya. Proses pembuatan SIMnya tidak lama, tidak lebih dari satu jam. Secara kasat mata saya tidak melihat ada calo di sana—saya tidak tahu persis adakah calo yang tak bisa dilihat alias sembunyi-sembunyi. Paling tidak, ada tanda kemajuan: orang tak lagi terang-terangan menjadi calo. Ini sangat jauh berbeda, misalnya, dengan situasi di satpas Kabupaten Magelang yang sebelumnya saya singgahi untuk mengurus surat pindah. Di sana, begitu roda motor saya menyentuh lantai parkiran, para calo tanpa tedeng aling-aling sudah menasarkan jasa. Jumlahnya banyak, dan sepertinya tanpa rasa malu atau takut ketahuan. Padahal tepat di atas atap, ada tulisan besar-besaran yang kira-kira berpesan:jangan gunakan calo!Kawan saya, yang hari itu mengurus perpanjangan SIM—sama seperti saya, harus mengeluarkan duit lebih dari 150 rbu untuk memperpanjang masa berlaku SIM. Ia dibantu calo, tentu saja. Ketidaktahuan selalu dimanfaatkan oleh orang-orang culas untuk mengeruk untung.

Barangkali urusan akan lebih mudah dengan calo, tapi saya mendapati bukti di satpas sleman bahwa tanpa calo, urusan tetap mudah tanpa berpanjang-panjang. Cukup bayar, isi formulir, duduk menunggu antrian, selesai.

Kendati begitu, tetap saja ada pungutan tannpa tanda terima di satpas sleman. Saya harus membayar dokter 20 ribu dan dompet kecil tempat SIM yang tak ada gunanya sebesar 5 ribu. Untuk periksa dokter, ada keteantuan tertulis di kaca loket 1 tempat saya menampaikan berkas. Ketentuan ini saya rasa memang masuk akal. Palig tidak, orang harus dicek apakah ia sehat atau tidak jika hendak mendapatkan surat ijin mengemudi. Yang menyebalkan justru praktik pemeriksaan itu. Seseorang yag diperiksa sebelum saya diminta membaca huruf-huruf di dinding sementara petugas pemeriksanya malah sibuk menelpon entah siapa. Saya bahkan tidak diperiksa matanya. 20 ribu rupiah untuk pemeriksaan yang asal-asalan ini.

Sebuah dompet tak berguna saya terima ketika SIM saya sudah jadi. Saya sempat mempertanyakan uang 5 rb itu dan dompet tanpa guna itu. Tapi saya tetap diharuskan—atau disituasikan dalam kondisi harus—membayar lima ribu untuk sesuatu yag tak ada gunanya. 5 ribu tentu tak banyak. Tidak cukup untuk membeli rokok satu bungkus. Tapi kalikan saja 5 ribu itu dengan ribuan pembuat SIM setiap bulannya. Sulit untuk tidak mengaitkan ini dengan proyek pengadaan dompet yang pasti menguntungkan segelintir orang. Saya tidak cukup energi untuk mendebat petugas loket. Ini sikap yang salah ya…? Bisa jadi. Tapi dengan segala kerepotan yangmenghadang dan waktu yang terbuang uang 25 ribu itu pasti akan terasa lebih ekonomis. Paling tidak saya—dan mungkin orang lain yang tidak ngeyel u urusan ini—berpikir bahwa jika tidak berada di tempat itu dalam rentang waktu yang sama maka akan bisa menghasilkan lebih dari 25 ribu rupiah. Cukup membayar uang kecil itu, kita akan terbebas dari urusan yang berpanjang-panjang. Pasti akan ada yang bilang sikap seperti ini adalah sikap yang melanggengkan kultur korup. Baiklah. Namun pertanyaan yang sama juga tertuju pada lembaga—atau orang—yang melakukan pungutan tadi. Bukankah mereka yang lebih punya kuasa. Korupsi, bukan semata soal kultur, tapi kekuasaan. Bukan begitu?

9 thoughts on “Memperpanjang SIM, Memperpendek urusan

  1. Untuk keterangan dokter diperlukan, karena tidak menutup kemungkinan dalam jangka waktu 5 tahun, daya pandang anda berkurang. Surat keterangan dokter boleh diurus sendiri (bawa dari rumah), polisi membantu masyarakat yang belum mengetahui syarat penerbitan SIM dengan menyiapkan dokter dekat dengan Satpas.

    Untuk masalah dompet itu tidaklah wajib, dibuat untuk menghindari SIM terkena air, atau bergesekan dengan kartu penting yang ada di dompet atau tas anda, apabila dipaksa membeli, silahkan anda langsung lapor ke Unit Provoost Polres tersebut.

    Terima kasih banyak mas atas kepercayaannya kepada kami.

  2. iya pak, saya tidak mengatakan tes dokter tidak berguna. saya mengeluhkan praktik pemeriksaan yang asal-asalan..
    mengenai dompet, harusnya diberi pilihan boleh tidak membeli..

  3. Lalu bgmn dgn proses cabut berkas di polres domisili yg lama dan perpanjang sim di polres domisili yg baru? apa ada biaya ketika cabut berkas? mhn dijelaskan kronologisnya. thanx

  4. Luar biasa, pengalaman anda memberikan saya gambaran ketika akan mengurus SIM besok lusa 😀

    Hati tenang deh bisa ngelabrak calo nakal.
    Tapi liat aja entar dilapangan 😮

    Biasanya yg bikin jengkel adalah sistem antriannya yg kacau.

Leave a comment