Berburu Sekolah untuk Kaka


Sudah beberapa waktu ini anak saya, Kaka (3tahun), mulai berkenalan dengan dunia sekolah. Ia sekarang bargabung di kelompok bermain SALAM. Sanggar Anak Alam, Di Nitiprayan, Jogja.

Saya (dan istri saya) sebelumnya tidak terpikir atau menginginkan sekolah dini untuk Kaka. Namun karena Kaka tak punya teman bermain sebaya di rumahnya dan di lingkungannya kami berpikir untuk mencarikannya teman bermain. Kami pun mulai berburu sekolah dengan tanya kanan kiri. Termasuk melakukan kunjungan mendadak ke sejumlah kelompok bermain.

Saya menjumpai sebuah TK—sepertinya milik orang NU—yang lumayan bagus, setidaknya guru-gurunya masih muda dan tampak berpikiran terbuka. Biayanya juga tidak mahal. Tapi tempatnya jauh sekali dari rumah. Kaka pasti sudah teler ketika sampai di sekolah ini setiap pagi.

Sekolah berikutnya yang saya temui, sungguh tempat yang bagus. Dari segi fisik, maksud saya. Orang yang menerima saya sangat ramah dengan senyum khas customer service. Kaka sepertinya suka tempat itu—maklum mainannya banyak dan bagus-bagus. Tapi saya berketetapan hati utuk tidak menyekolahkan Kaka di sana. Biayanya sangat mahal. Jauh dari jangkauan saya yang hanya hidup dari keajaiban satu ke keajabiban lainnya ini. Uang bulanananya hampir sama dengan ongkos saya kuliah satu semester.

Berikutnya, sebuah sekolah milik organisasi agama terkemuka di negeri ini yang sangat suka bikin sekolah dari Tk hingga perguruan tinggi.. Kaka tidak diterima karena masih di bawah 3 tahun. Kalaupun diterima, rasayanya saya yang tidak terima. Sangat sulit bagi nalar saya untuk membiarkan Kaka sekolah di tempat yang riuh rendah seperti itu dnegan guru-guru tua yang tampaknya sudah merasa paling tahu bagaimana memperlakukan anak kecil. Lebih-lebih saya pernah mendengar cerita horor tentang sekolah ini dari tetangga saya. Anak tetngga saya ini, yang sekolah TK di tempat itu, harus ikut bimbingan belajar demi menggapai kemampuan-kemampuan tertentu supaya tak tertinggal di kelas TK itu. Anaknya, kata tentangga saya, sering menangis jika tak mampu mengerjakan PR. Saya benar-benar harus memukul kepala saya dua kali untuk memastikan saya tidak sedang bermimpi ketika mendengar cerita itu. Bayangkan, seorang anak TK harus ikut bimbingan belajar! Konon, kini memang banyak SD yang mensyaratkan kemampuan baca-tulis-hitung bagi siswa baru. Ini artinya tekanan buat TK agar memproduksi anak yang mampu baca-tulis-hitung. Saya tdak banyak tahu apa yang tengah terjadi dengan dunia pendidikan di negeri ini. Yang jelas hal semacam ini meresahkan. Memang, banyak orang—sebagian disebut sebagai “pakar pendidikan”— yang setuju dan mendukung penuh pengajaran baca-tulis-hitung di TK atau bahkan playgroup. Tapi nalar saya mengatakan: bukankah tugas Sekolah Dasar adalah memberi kemampuan dasar bagi siswa (kemampuan dasar itu artinya baca, tulis, dan hitung)? Bukankah TK dan playgroups adalah tempat bermain anak supaya bisa mengenal apa yang disbut dengan sekolah? Saya tentu tidak menolak baca-tulis-hitung diajarkan di TK, tapi seharusnya cuma sebagai perkenalan saja. Lagi pula bukankah yang namanya kecerdasan tidak cuma IQ, tapi juga kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan semacamnya? Alasaan pertama saya mencari sekolah adalah mencari teman bermain buat Kaka agar ia kecerdasan sosial dan emosionalnya terasah, bukan untuk membuatnya bisa membaca dan berhitung dengan fasih. Sekolah ini langsung saya buang dari opsi.

Sekolah berikutnya adalah sekolah yang dari sisi letak paling mendapat poin. Sekolah ini nyaris menjadi pilihan saya. Saya bahkan sudah membawa Kaka ke seklah itu untuk masuk sekolah, setelah beberapa hari sebelumnya saya menenemui kepala sekolahnya. Entah kenapa, secara kebetulan—ah,lagi-lagi, adakah yang benar-benar kebetulan di dunia ini?—saat itu sekolahnya libur. Saya mendapat kesempatan untuk merenungkan sekolah itu. Satu hal yang paling mengganggu saya adalah justru ketika ibu kepala sekolahnya bercerita dengan bangga bahwa anak-anak yang sebelumnya nakal menjadi penurut dan patuh setelah sekolah di tempat itu. Terus terang saya sering dibuat jengkel dengan kebandelan dan pemberontakan Kaka, tapi saya tetap merasa itu sebagai hal yang harus dijaga, bukan dipadamkan begitu saja. Apalagi oleh sebuah sistem represi. Serem juga saya membayangkan Kaka tiba-tiba menjadi penurut karena dikerangkeng di sekolah—secara harfiah sekolah ini memang menutup pintunya ketika pelajaran berlangsung, bahkan tempat bermainnya pun di dalam ruangan.

Kesempa itan untuk berpikir itu membawa saya pada SALAM. Tempat ini saya kenal sebelumya ketika saya ikut suatu pertemuan sebuah lembaga yang diselenggarakan di sekolahan ini. Waktu itu saya juga sedikit mendengar tentang apa dan bagaimana SALAM dijalankan. Rasa tertarik saya pada sekolah ini saya pendam agak dalam karena letaknya yang cukup jauh dari rumah saya. Sekitar 30 menit naik motor. Tapi karena ingin tahu lebih banyak dan mencari informasi siapa tahu ada tempat serupa di sekitar tempat tinggal saya, saya dan istri iseng saja mencoba mendatangi SALAM. Sesampai di sana saya ngobrol sedikit dengan mbak wakyah—nama pengelola tempat ini—, melihat proses belajarnya, dan Kaka mulai nimbrung. Saya merasa ini adalah tempat yang saya bayangkan tentang tempat bermain untuk anak-anak. Tempatnya ada di tengah sawah, kelasnya terbuka, tidak ada peraturan ajaib yang membelenggu, tak banyak menuntut anak. Kloplah dengan apa yang saya pikirkan tentang bagaimana memperlaukan anak.Sewaktu hendak pulang, Kaka malah menangis tidak mau pulang. Rupaya dia kerasan di tempat ini. Akhirnya saya memutuskan untuk menggabungkan Kaka dengan kelompok bermain ini. Untuk sebuah lingkungan yang sangat menumbuhkan seperti ini, 30 menit mengantar Kaka tidak akan terasa lama…

8 thoughts on “Berburu Sekolah untuk Kaka

  1. wah selamat ya Kaka, dah mulai sekolah..lebih maju ketimbang ayahmu yang bahkan gak pernah TK,hehe

    btw, kalimat “Kaka pasti sudah teler ketika sampai di sekolah ini setiap pagi” meragukan. Kaka apa ayahnya yg nganter yg teler?hehe

  2. LOh namanya Kaka toh mas anaknya? KIrain, namanya Bangsa, biar sampeyan bisa disebut Bapak Bangsa..hahahaha (ini guyonan sampeyan watu di Sawit sari dulu)

  3. betul mas. miris kita kalau membicarakan sistem pendidikan di indonesia. mau dibawa kemana masa depan bangsa ini kalau pendidikan ga ubahnya bisnis.

Leave a reply to boediarto Cancel reply